Aug 23, 2011

PANTAI BATU KARAS (Bagian Ketiga)


Surfing di Batu Karas-Cijulang, Jawa Barat

Pagi, Jumat (29/07/2011), saya bersiap-siap, sudah tidak sabar ke pantai Batu Karas. Menurut informasi, jarak antara Pangandaran dengan Batu Karas 30 km, waktu tempuh ± 45 menit. Saya berangkat jam 10:00 wib., setelah sarapan dan minum kopi sajian khas istri Yves. Ternyata pria berbadan tegap di terminal bus berkata benar, bahkan saya diuntungkan. Standard sewa motor per
12 jam Rp. 50,000. Sewa motor pribadi Yves untuk dua hari (2x 24 jam), Rp. 100,000, seharusnya Rp. 200,000, discount 50% lagi, murah kan?, gara-gara ucapan "bonsoir"?  

Sebagai daerah tujuan wisata dapat saya katakan bahwa 'kepedulian' pemerintah daerah kurang sekali, padahal pemasukan dan perputaran uang cukup besar di sektor wisata ini. Jalan menuju ke Pangandaran dari Pamarican atau Pangandaran ke Batu Karas sempit dan kurang terawat. Tiba di pintu masuk pantai Batu Karas bayar retribusi Rp. 6,500, tapi kalau kita tidak minta karcis cuma bayar Rp. 5,000. Pembaca tinggal pilih mau yang mana. (?)

Begitu melihat pantai di depan mata, hati dan pikiran bersatu dalam kebahagian, ternyata pikiran dan hati ini hanya menyatu dalam kebahagiaan.. tumben?... Serasa segalanya begitu indah, dan... ada rasa haru menyelimuti. Saya berbisik lembut: "Akhirnya saya bisa memenuhi kebutuhan kalian berdua berselancar dengan waktu, dan mudah-mudahan lancar. Tapi sabar dulu, kita cari penginapan, okay?"

Pantai Batu Karas masih belum dikenal khalayak umum alias masih sepi sekali!.. "...jodoh saya dong..hmm.." Menurut catatan, dalam jumlah per tahun, pengunjung yang datang masih didominasi turis asing, jadi teringat kisah yang hampir mirip terjadi di pulau Lombok sekitar 30 tahun lalu. 

Saya mendatangi 5 penginapan dengan berbagai type: resort, cottage, hotel, dan home stay. Harga per hari berkisar antara Rp. 150,000 s/d Rp. 550,000. Bangunan tampak rata-rata masih baru dengan arsitektur bangunan budaya Indonesia banget. Anda mau tahu pemiliknya?.. Rata-rata orang asing yang kawin dengan penduduk lokal, menarik bukan? 

Salah satu penginapan yang yang saya kunjungi dikelola oleh, sebut saja bu Dedeh. Ibu Dedeh punya menantu perempuan Jerman dan anaknya dimodali si istri Jerman berbisnis penyewaan papan selancar dan banana boat. Ada percakapan menarik ketika berbincang-bincang dengan bu Dedeh.
Saya: "Ada kamar standard non-AC, bu?"
Ibu Dedeh: "Ada pak,.. tumben tidak pakai AC."
Saya: "Maksud ibu?"
Ibu Dedeh: "Biasanya nih.. turis asing yang suka non-AC. Turis lokal pasti cari yang AC."
Saya: "Bagi saya kalau tidur pengen pakai AC mendingan di rumah aja... Ke tepi pantai atau ke gunung bukannya untuk menikmati keindahan alam, bu?"
Kami sama-sama tertawa, lantas saya diantar melihat contoh kamar.
Saya: "Bu,.. ada kamar yang pakai toilet duduk?"
Bu Dedeh: "Itu dia,.. ibu suka bingung.. waktu dibangun pakai toilet duduk soalnya turis asing maunya toilet duduk... tapi berapa banyak sih turis asing yang ke sini?"
"Turis lokal biar kata mobil mewah,.. mintanya toilet jongkok.. bingung ateuh saya-nya.." : Lanjut Bu Dedeh. 
Saya tersenyum, menganggukkan kepala.


Pantai Batu Karas dilihat dari udara.
Selepas makan siang, saya jalan-jalan menyusuri pinggir pantai sambil menghisap tembakau cangklong, huaahh.. nikmatnya !... Tampak anak-anak penduduk sekitar pantai terlihat asyik berselancar sambil bersenda gurau dengan beberapa wisatawan asing. 

Di pantai Batu Karas, waktu terbaik berolah raga selancar adalah pada siang menjelang sore. Arah gulungan ombak (gelombang) laut di lokasi ini ke arah timur, dan ketinggian ombak terbaik adalah sekitar 1 meter.

Tanpa sadar ternyata hari sudah sore, matahari menggelincir ke barat. Panorama sunset dimana saja selalu indah dipandang mata, di pantai Batu karas tanpa terkecuali. "Saya harus kembali ke hotel,.. istirahat... menyiapkan adrenaline."
Saya berkata dalam hati.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment

Tulis pendapat dan komentar di bawah ini :)