Aug 28, 2011

PANTAI BATU KARAS (Bagian Kelima)

"Saya kira mau nyemplung... saya mau ikutan tadinya.." Begitulah komentar Asep setelah ketegangan dinatara kami mencair. Pukulan saya tadi rupanya mendarat tepat di hulu-hatinya. 
Sehari-hari, Asep mencari nafkah dengan ngojek perahu. Kemanapun pelancong kehendaki, dia layani. Ke Green Canyon sampai ke pulau Nusa Kambangan, ia layani. Padahal jarak ke pulau Nusa Kambangan, lumayan biduk dikayuh. Jika dilihat dari wajah, tampang boros, tidak sesuai dengan usianya yang baru 21 tahun.
"Kang Asep,.. ngapain saya mau 'nyemplung' (bunuh diri), rugi..! Lagian, ngapain
akang mau ikutan?.. yang mbo'ten-mbo'ten aja.." :Saya tersenyum di kegelapan malam pantai Batu Karas.
"Saya minta nasehat bapak, boleh?"
"Boleh.. boleh.." :Saya mempersilahkan.
"Tadi siang saya habis datangi rumah mertua, sudah kasih tanda mau ceraikan istri." (Saya terkejut ternyata Asep sudah menikah dan mau bercerai.)
"Mau cerai..?! Apa?... gimana maksudnya, kang?"
"Begini pak, saya baru berumah tangga 8 bulan... kenalan 3 bulan langsung kawin... umur istri sekarang 17 tahun... dst.. dst..."

Active listening.
Asep bercerita panjang lebar, sangat menarik. Saya sendiri beralih peran menjadi 'active listener' 
(pendengar aktif). Dari caranya berbicara, tidak tampak sama sekali efek 'topi miring' dalam menjabarkan permasalahan. Walau tamatan SMU tapi Asep ini terlihat ber-otak cerdas!

Permasalahan rumah tangga yang dihadapi Asep sudah umum terjadi, dimana konflik timbul akibat campur tangan pihak ketiga. Dalam kasus Asep, pihak ketiga yang dimaksud adalah ibu mertuanya.


Sumber permasalahan Asep adalah konflik perbedaan derajad. Keluarga istri (ibu mertua) merasa derajadnya lebih tinggi. Punya perahu dan warung kelontong di perkampungan nelayan pantai Pangandaran. Sedangkan Asep dari keluarga buruh nelayan. Konflik akibat perbedaan derajad ini membuat Asep merasa sering diperlakukan layaknya orang hina-dina oleh ulah ibu mertua, apalagi sang istri sering memposisikan diri di pihak ibu mertuanya atau malah bungkam saja. 

Dilain pihak, ayah mertua sesungguhnya menyukai kepribadian Asep yang ulet dan tangguh, sejak pertama mengenal, sejak Asep masih berstatus pacaran dengan anaknya. Namun rasa suka ayah mertua ini tidak mau diperlihatkan bila berhadapan dengan istri, singkatnya: type suami-suami takut istri.

Yang memperparah keadaan adalah istri Asep. Istrinya lebih memilih tinggal di rumah ibunya (disuruh ibu), padahal Asep sudah mengontrak rumah petak sekaligus ingin menunjukkan bahwa ia mampu membangun kemandirian rumah tangga walaupun pekerjaannya cuma ojek perahu. Lantas Asep sudah tidak kuat menahan hinaan ketika pagi tadi si ibu mertua terang-terangan menyuruh istrinya cari suami lain.
"Apa saran bapak?.." Asep bertanya setelah usai merampungkan bercerita.
Saya jawab: "Dalam urusan rumah tangga saya tidak bisa hanya mendengarkan dari satu sisi saja, kang... Saya baru bisa kasih saran bijak bila sudah mendengar dari kedua sisi, kayak speaker kang... stereo gitu loh...." Saya pandangi wajah Asep sejenak, kemudian melanjutkan: "Tapi begini saja... coba akang.... dst. ... dst. ..." Saya memberi arahan yang membuat Asep mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan cerdas.
Jam sudah menunjukkan pukul 3:35 wib., Sabtu pagi. Saya berpamitan ke Asep karena mau kembali ke hotel, badan butuh istirahat. Pikiran saya berkata; "Asep enak minum topi miring badan anget terus, nah saya?.. badan basah habis berendam di laut.. mana kena hembusan angin.. bbbrrrr..." Saya meluluskan permintaan Asep dengan memberi dia nomor cellphone.

Sambil melangkahkan kaki meninggalkan Asep, saya sempat nyeletuk menggoda: "Mumpung masih sepi kang,.. masih ada kesempatan nyemplung koq... tapi jangan ngajak-ngajak saya." Kami berpisah dengan senyuman. 
Senyum persaudaraan menyongsong fajar yang datang dari timur.
(Bersambung)

No comments:

Post a Comment

Tulis pendapat dan komentar di bawah ini :)