Sep 12, 2011

PANTAI BATU KARAS (Bagian Kesembilan)

"..ada rasa seeerrr..."
Pantai Pangandaran kini telah berubah setelah gempa-tsunami 17 July 2006. Boleh dibilang ramai sekali dan luas area telah berkembang menjadi dua kali lipat. Saat melewati pantai timur, ingatan saya kembali terbang melayang ke masa lampau, yaitu ke sebuah pertemuan dengan PS (Para Sahabat) dan seorang wanita berwajah photogenic.

"Pak.. pak.. hooiii..! ini kembaliannya,.. ngelamun aja." suara pedagang ikan asin jambal roti dekat pelelangan ikan pantai Pangandaran menyadarkan dari pengembaraan ke alam nan bertepi tak berujung.

Saya berangkat dari terminal bus Pangandaran, Minggu (31/7/2011), jam 17:30 wib., dengan tujuan Jakarta. Dari terminal cuma di isi 7 orang, yaitu: supir, kondektur, dan 5 penumpang (termasuk saya). Ada hal yang cukup menggembirakan, ternyata satu diantara penumpang adalah mantan ketua RT di perumahan saya. Sayangnya ketika diajak duduk bersama dia menolak dengan alasan sungkan. (?)


Bus yang saya tumpangi ke Jakarta type Non-AC dengan susunan bangku 2-2, reclining seats. Saya memilih barisan ketiga sebelah kiri, sementara ex-ketua RT di barisan kelima. Tas ransel saya letakkan di bangku dekat jendela, dan saya di gang (aisle). "Lumayan ransel bisa jadi bantal tidur selama perjalanan," ujar saya dalam hati.

Rupanya, selama perjalanan bus sering berhenti mengambil penumpang di tempat-tempat tertentu (agen). Setiap penumpang baru langsung mengisi bangku-bangku kosong. Saya pun otomatis menggeser duduk ke dekat jendela dan tas ransel saya turunkan ke lantai, dengan maksud mempersilahkan jika ada yang mau mengisi tempat duduk sebelah saya. Namun mereka (penumpang baru) berlalu begitu saja.

Bus berhenti lagi di wilayah Rancaekek, "Mudah-mudahan ini berhenti yang terakhir, sebab tidak lama lagi akan masuk tol Cipularang. Apa iya nanti mau ambil penumpang lagi di jalan tol?," pikir saya.

Dari arah depan masuk seseorang, celingak-celinguk, kemudian mendekati saya dengan tatapan ganjil.
"Silahkan duduk," sambut saya sambil menggeser duduk ke jendela lagi.
"Saya checker pak, terima kasih," membalas dengan hangat lalu berlalu ke belakang.
Sayup-sayup terdengar percakapan dalam bahasa Sunda, berikut "kira-kira" terjemahannya.
Checker, "Kenapa berdiri di sini?.., kosong satu kan?"
Kondektur, "Tidak berani... rasanya seeerrr... "
Checker, "Iya,.. ada rasa seeerrr di dada... kenapa ya?"
Saya menolehkan wajah ke belakang, ingin tahu. Ternyata semua bangku telah terisi penuh. Lalu mata saya bertemu dengan kondektur; ia sedang berdiri dekat pintu belakang nmengobrol dengan checker.

Air Samudra Hindia,
Saya coba berpikir untuk memahami apa penyebab tidak ada penumpang yang mau duduk dengan saya. Terngiang kata-kata, "..ada rasa seeerrr..." lalu seperti ada yang menggerakkan kepala, dan.. mata saya langsung tertuju ke tas ransel!

Saya langsung berseru dalam hati seraya bingung, "Tapi apa mungkin?.. ah.. mana mungkin air samudra bikin orang jeri?... lagian cuma air doang, kan?!.." dan dibalas oleh kata hati, ""Tidak semua kebingungan harus mendapat penjelasan."
 "C'est la vie!.." kata saya pasrah.
(Bersambung ke Penutup)

No comments:

Post a Comment

Tulis pendapat dan komentar di bawah ini :)