Sep 3, 2011

PANTAI BATU KARAS (Bagian Keenam)

"Dua ribunya buat saya aja,.. 'amal' pak."
Pantai Batu Karas,
Sabtu (30/7/2011).
Suara bising kendaraan bermotor hilir mudik di luar hotel tak henti-hentinya, membuat saya terjaga dari tidur pulas. "Sekarang hari Sabtu, sudah jam 9:23 wib!?.., kesiangan !... kemaren sepi tapi kok hari ini brisik banget... jadwal hari ini kan ambil air samudra..!" Saya ngedumel sendirian.
Setelah sarapan, saya meninggalkan hotel dan bergegas menuju tepi pantai yang sudah saya datangi semalam. "Alamak.. ramai nian coy..! huiihh... gimana mau ambil air samudra?... ckckck..." Saya memandang dengan wajah kecewa.

Sim-Sa-Labim, pantai Batu Karas mendadak ramai sekali. Ternyata hari ini pantai Batu Karas menjadi tempat 'mandi-mandi' penduduk sekitar Jawa Barat dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, sebagai symbol mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Sempat terlintas pikiran: "Oooh.. mungkin ini yang dimaksud dengan kata
'nyambangi' sewaktu di terminal Cicaheum-Bandung?,.. tapi saya tidak kenal dia?.. ahh.. sudahlah.."


Nyangklong di tepi pantai.
Ada jejeran warung di sebelah timur pantai, dan saya mendatangi warung yang menjorok ke pantai karena kosong—tak ada pembeli, mudah-mudahan jadi ramai! Tepat sesuai dugaan, sekitar 15 menit kemudian berdatangan 3 rombongan keluarga memenuhi kursi dan meja di warung pilihan saya.

Setelah lama duduk memandang ke pantai, rasa bosan menyelimuti diri. Apanya yang indah? Saya berpikir bahwa tidak mungkin mengambil air samudra ditengah-tengah keramaian seperti ini, pikiran nakal nyeletuk lembut: "Airnya sudah tidak suci lagi kan?.." Lantas saya putuskan untuk mencari jalan keluar. Apa iya tidak ada jalan keluar?
"Teteh, berapa semua?" Saya bermaksud membayar tagihan.
"Rp. 38,000, pak." Sahut pemilik warung tak lama kemudian.
Saya keluarkan uang Rp. 50,000. dari kantong celana. Beberapa saat kemudian ia keluar dari dalam warung dan menyodorkan uang kembalian, lantas saya hitung jumlahnya.
"Teteh, kok cuma Rp. 10,000? Kurang Rp. 2,000 dong."
Pemilik menjawab sambil melengos: "Dua ribunya buat saya aja,.. 'amal' pak."
Saya jadi gusar dan berkata tegas: "Saya minta dua ribunya, sekarang!"
Saya tatap wajahnya, tak perduli pengunjung lain serentak melirik ke saya.
Ia kembali ke dalam dan mendatangi saya dengan wajah cemberut: "Ini dua ribu uang bapak ya, Pelit amat!.. " (wajahnya menoleh ke samping kiri dengan tatapan ke bawah).
Setelah menerima, lantas saya berkata sambil senyum: "Teteh, ini saya kasih Rp. 2,000."
Pemilik warung jengah dan bertanya: "Kok dikembali'in, pak?"
Saya berkata kalem sambil berlalu meninggalkan warung: "Berikan dulu hak orang, sedangkan amal itu hak orang, bukan?"
Terlihat reaksi dari bahasa tubuh si pemilik warung tadi memperlihatkan rasa bingung. Pikiran berkata ke dalam hati; "Tidak semua kebingungan harus mendapat penjelasan."

Sambil mengayunkan langkah tak tentu arah, pikiran saya melayang jauh ke rumah, disaat ketika anak saya ngomong: "Daddy, urusan infaq di kelas, Sasta juara satu terus... abisnya tiap Jumat dia kasih paling besar... Rp. 20,000 !... kadang-kadang tiga puluh ribu... Aku maunya kasih seribu aja.. pernah aku kasih gopek." Kemudian nada suara dipelankan: "Pernah enggak aku kasiihhh.." Selanjutnya, intonasi berubah membela diri: "Lho.. hak aku mau infaq berapa atau enggak infaq, iya kan?"

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment

Tulis pendapat dan komentar di bawah ini :)