Feb 23, 2010

KEGAGALAN (KESUKSESAN) DI ZAMAN LEDHA-LEDHE



Di era tahun '90-an, USA berhasil bangkit dari keterpurukan akibat persaingan ekonomi global dgn Jepang.  Kesuksesan para CEO (Chief Executive Officers) dari negeri Uncle Sam ini menjadi model yg sangat menggiurkan, menyebar luas, memberi tahu masyarakat tentang rahasia kesuksesan mereka—bahwa kesuksesan adalah sebuah 'rangkaian proses' yang dimulai dari membuat 'tujuan akhir' menjadi jelas di awal, bagi anggota management.  Rahasia sukses terjebut intinya terletak pada Visi dan Misi seorang pemimpin!


Kesuksesan tersebut kemudian dijiplak habis oleh pemimpin-pemimpin nasional kita untuk memenangkan kompetisi merebut kursi kekuasaan, berbarengan dengan bendera reformasi berkibar (tumbangnya rezim Orde Baru).  Di semua level birokrasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif—diterapkan fit & proper test (uji kelayakan).  Sertifikat yg menandakan
intelektualitas seseorang menjadi syarat utama membedakan derajat kesejahteraan, di dunia pendidikan diterapkan index prestasi nasional untuk menentukan kelulusan seorang pelajar, dll.  Bisnis penerbitan sertifikat menjadi laris-manis di zaman Ledha-ledhe ini, dan banyak contoh-contoh lain yg Anda sendiri melihat dan mengetahui faktanya.


Setelah lebih dari 10 tahun orde reformasi berlangsung, kini saatnya untuk mengevaluasi, dan jangan menunda-nunda lagi!  Saya menilai, ada beberapa kekeliruan besar dan mendasar yg dilakukan oleh penguasa-penguasa di zaman Ledha-ledhe, termasuk:


  1. Merumuskan Visi & Misi untuk negara berbeda dengan bisnis. Merumuskan visi dan misi dgn pendekatan model organisasi bisnis ke dalam sebuah organisasi negara secara total, akibatnya adalah negara semakin terpuruk. Kenapa?  Sebuah perusahaan dimiliki oleh segelintir pemegang saham, sedangkan pemegang saham NKRI adalah seluruh rakyat Indonesia.
  2. Visi.  Dalam setiap kampanye Pilpres, Pileg, dan Pilkada, masing-masing calon mengkampanyekan visi mereka masing-masing.  Ini sangat berbahaya, kenapa?  Visi itu adalah gambaran mental, jika gambaran mental berubah-ubah maka rakyat Indonesia secara keseluruhan menderita kedunguan mental! Berbeda dengan visi di perusahaan, untuk sebuah negara visi harus tetap sama dengan visi yg dirumuskan oleh para pendiri, dan yg boleh berubah-ubah adalah misi!  Jadi, visi yg tidak boleh berubah di NKRI, siapapun pemimpinnya adalah Preambule UUD 1945, yg menyebutkan, "Mewujudkan masyarakat yg adil dan makmur." 
  3. Paternalistic.  Budaya bangsa Indonesia berakar pada budaya paternalistik, sehingga untuk untuk bangkit dari keterpurukan setelah krisis multi dimensi, keteladanan seorang pemimpin menjadi kunci sentral.
  4. Inlanders.  Karakter kepemimpinan di Indonesia masih menganut filosofi Inlanders, julukan penjajah kolonial Belanda kepada pribumi—dibalik kata pribumi, arti yg tersirat adalah tabiat budak.  Tabiat budak secara sederhana kita analogikan dengan lompat katak, "Sikut kiri-kanan, injakkan kaki ke bawah, hoop...!, loncat ke atas."  Begitulah kunci sukses bila kita mau menjadi pemimpin dlm bidang apapun di Indonesia.  Contoh karakter budak diantaranya: mendapat jabatan adalah berkah—bukan amanat, gamang mengambil keputusan karena tidak siap menanggung resiko (bertanggung jawab), pandai mengkambing-hitamkan musuh yg tidak terlihat (zionist, kolonial, bahaya PKI, issue Malaysia, UU nikah sirri, dll.).
  5. Komunikasi.  Penguasa-penguasa kita menunjukkan pandai berkomunikasi dengan gemar bicara menebar wacana, polemik, retorika, dll., padahal, pandai menggunakan body language (bahasa tubuh) saja sudah menandakan berkomunikasi.
  6. Reaktif.  Penguasa-penguasa kita gemar sesuatu yg baru (membuat/membentuk/merubah) untuk menampilkan identitas, saya beda.  Suatu perubahan bila tanpa persiapan dan uji coba untuk memastikan manfaat yg akan diperoleh maka akan berakibat fatal, dan ini adalah perilaku yg saya sebut dengan reaktif.  Dampak kebijakan model reaktif utamanya adalah rakyat ikut latahan bingung alias ledha-ledhe.   
  7. Kemanusiaan.  Sebagai negara hukum, selayaknya hukum menjadi pijakan utama untuk memeroleh keadilan.  Faktanya, keadilan dipilah-pilah berdasarkan status sosial warga negara.  Jika kita melihat suatu proses 'keadilan' saja maka yg muncul adalah debat kusir karena alibi-alibi yg disampaikan semua benar menurut hukum!  Lantas dimana letak sumber kesalahan sesungguhnya?  Diantaranya: Pasal-pasal mengandung makna yg bias satu dgn yg lain atau dikenal dengan istilah pasal karet, ketidaksesuaian peraturan satu dgn yg lain, peraturan baru muncul - yg lama tidak/belum di cabut, antar undang-undang saling bersinggungan bahkan bertabrakan, dan ada undang-undang bertentangan dgn Undang Undang Dasar 1945.  Dampak utama dari kesemrawutan ini adalah. penjarahan nilai-nilai kemanusiaan!  Saya jadi mengerti kenapa nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi korban.  Ya jelas, penguasa-penguasa kita gencar menjual Visi & Misi, tetapi tidak menyiapkan values (nilai-nilai), yg menjadi prinsip dasar perilaku dalam menentukan keutamaan tindakan, soalnya tidak akan menjadi beban etika-moral ketika, "lain di bibir—lain pula di hati."
Tetapi saat ini saya menjadi ragu, "Apa iya segala hal diatas tidak disadari oleh penguasa-penguasa di tanah air??.."  Agar hati plong (lega), maka keraguan ini saya ekspresikan dgn merubah judul diatas, menjadi: "Sticky Leadership ☛ KEGAGALAN ATAU KESUKSESAN DI ZAMAN LEDHA-LEDHE (???)
Terima kasih.    

No comments:

Post a Comment

Tulis pendapat dan komentar di bawah ini :)